Latar
Belakang
Dalam
konsepsi sejarah, berakhirnya perang dunia II seringkali dilihat sebagai
kemenangan panji demokrasi, dan keruntuhan bendera fasisme. Keruntuhan,
kekuatan demokrasi kembali menduduki posisi sentral dalam agenda persoalan
kenegaraan di dunia. Persoalannyasangat jelas, yakni menempatkan demokrasi dan
HAM sama dengan meletakkan kedaulatan rakyat di garis depan dari seluruh
pengelolaan sosial politik dan ekonomi.
.
Perjuangan ini dilandasi oleh nilai-nilai perjuangan
bangsa sehingga kita tetap memiliki
wawasan dan kesadaran bernegara, sikap dan perilaku yang cinta tanah air dan
mengutamakan persatuan serta kesatuan bangsa dalam rangka bela negara demi
tetap utuh dan tegaknya NKRI.
Pengertian Pancasila
Sejarah telah
mengungkapkan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang
memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam
mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik, di dalam masyarakat Indonesia
yang adil dan makmur. Bahwasanya Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan
sebagai dasar negara seperti tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran,
kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang
mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia.
Pancasila
sebagai Dasar Negara
Pancasila artinya lima dasar atau lima asas yaitu nama
dari dasar negara kita, Negara Republik Indonesia. Istilah Pancasila telah
dikenal sejak zaman Majapahit pada abad XIV yang terdapat dalam buku Nagara
Kertagama karangan Mpu Prapanca dan buku Sutasoma karangan Mpu Tantular, dalam
buku Sutasoma ini, selain mempunyai arti “Berbatu sendi yang lima” (dari bahasa
Sangsekerta) Pancasila juga mempunyai arti “Pelaksanaan kesusilaan yang lima”
(Pancasila Krama), yaitu sebagai berikut:
1. Tidak
boleh melakukan kekerasan
2. Tidak
boleh mencuri
3. Tidak
boleh berjiwa dengki
4. Tidak
boleh berbohong
5. Tidak
boleh mabuk minuman keras / obat-obatan terlarang
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. sebagai dasar negara maka nilai-nilai
kehidupan bernegara dan pemerintahan sejak saat itu haruslah berdasarkan pada
Pancasila, namun berdasrkan kenyataan, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila
tersebut telah dipraktikan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dan kita teruskan
sampai sekarang.
Rumusan Pancasila yang dijadikan dasar negara
Indonesia seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan dan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam
Masalah hubungan antara Islam dan
Pancasila rupanya masih menarik perhatian banyak kalangan. Munculnya
beragam peraturan daerah (perda) yang bernuansa syariat Islam di
beberapa daerah di era refromasi sedikit banyak kembali memancing
perdebatan lama mengenai hubungan antara Islam dan Pancasila atau wacana
hubungan antara negara dan agama.
Bagi sebagian kalangan, perdebatan ini
mungkin membosankan. Dalam konteks sejarah Indonesia, polemik ini sudah
ada sejak masa sebelum kemerdekaan. Perdebatan itu dilakoni para tokoh
pergerakan nasional sebagai bagian dari proses pencaharian identitas
bersama. Asumsi mendasari perdebatan mereka, bagaimana caranya
menjalankan negara dan bangsa jika kelak kemerdekaan nasional diperoleh.
Konflik Ideologis
Pada pertengahan 1940-an, perdebatan
berlangsung dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Asumsi perdebatan itu
kembali berkisar pada persoalan prinsipil, yakni atas dasar apa negara
Indonesia didirikan dan dioperasikan kelak? Dari sekian banyak unsur
bangsa yang tergabung dalam panitia persiapan kemerdekaan itu, pada
akhirnya mengerucut hanya menjadi dua kelompok utama (mainstream), yakni
pendukung dasar negara Islam dan nasionalisme (kebangsaan) sekuler.
Dari naskah sidang-sidang BPUPKI
kelihatan, perdebatan mengenai dasar negara sangat keras, sekalipun
prosesnya masih dalam batas-batas wajar dan civilized. Ini bisa dipahami
karena The Founding Father and Mothers adalah generasi baru yang
terpelajar, baik dari hasil pendidikan Barat, pendidikan Islam maupun
kombinasi kedua sistem pendidikan. Sejarah mencatat, pada akhirnya,
perdebatan itu berakhir pada satu titik “kompromi”. Pancasila yang
kemudian menjadi dasar negara Indonesia dinilai sebagai hasil kompromi
maksimal pada tokoh nasional saat itu.
Sekalipun demikian, secara prinsipil,
hasil kompromi itu masih bersifat longgar. Dasar negara rupanya menjadi
“kitab” terbuka untuk dipersoalkan lagi. Mungkin di masa revolusi
(1945-1949) perdebatan itu agak terhenti, karena para tokoh avant garde
itu harus menghadapi musuh bersama yakni upaya-upaya rekolonisasi
Belanda, akan tetapi pada tahun 1950-an, polemik klasik itu mencuat lagi
ke pemukaan dalam bentuknya yang lebih keras. Perseteruan antara
kelompok pendukung ide Pancasila (nasionalisme sekuler)) dan Islam
(nasionalisme-religius) kembali mendapatkan tempat.
Pada dasarnya perdebatan di Konstituante
itu positif, sebagai manifetsasi demokrasi liberal, akan tetapi karena
tidak pernah menemui ujung penyelesaian, proses perdebatan itu akhirnya
memicu munculnya malapetaka baru dalam perpolitikan Indonesia. Bukan
Islam atau Pancasila yang diimplementasikan sebagai dasar
penyelenggaraan negara, akan tetapi justru sistem otoriterianisme. Islam
maupun Pancasila dalam pengertiannya yang idealistik akhirnya harus
“minggir” ke belakang.
Demokrasi Terpimpin (1959-1066) menjadi
titik balik (the turning point) demokrasi paling krusial dalam sejarah
Indonesia. Rezim mengikrarkan kembali ke UUD 1945, sebuah naskah
historis yang di dalamnya termaktub butir-butir Pancasila, akan tetapi
praktiknya justru despotisme. Pancasila dan UUD 1945 menjadi kredo
belaka bagi kekuasaan absolut. Namun demikian, bagi sejumlah ahli tata
negara, praktik antidemokrasi yang berlangsung sejak 1959 tidak
mengherankan, karena secara prinsipil, UUD 1945 memang sangat mungkin
untuk diselewengkan.
Dominasi Pancasila
Sejak saat itu, kalangan Islam ideologis
tidak mendapatkan panggung yang sebanding untuk memperjuangkan kembali
dasar negara Islam. Otoritarianisme membuat ekspresi politik kelompok
ini “mati kutu”. Sebaliknya, sebagian kelompok nasionalis-sekuler
mendapatkan panggung justru karena berlindung di balik otoriterianisme.
Memang, muncul pula kelompok agama dalam formasi kekuatan politik saat
itu, akan tetapi eksistensi mereka tak lebih sebagai “pelengkap” belaka
untuk sebuah formalitas unsur kebangsaan. Mereka tidak mewakili arus
utama kelompok Islam idiologis.
Pada masa Orde Baru, suasana politik
berubah, karena pergantian rezim. Polemik Islam dan Pancasila kembali
mendapatkan sedikit ruang, sekalipun di batasi dalam kerangka wacana
belaka. Despotisme yang panjang, termasuk dalam bentuk deislamisasi dan
depolitisasi, telah membuat kredibilitas kelompok Islam ideologis surut.
Orde Baru yang pada awalnya dinilai berbaik hati kepada kelompok Islam
idiologis, ternyata justru tak kalah kerasnya dibandingkan Orde Lama.
Kelompok-kelompok idiologis ditekan.
Pada masa inilah Pancasila sebagai
sebuah ideologi menjadi unsur determinan dalam wacana politik.
Celakanya, Pancasila kembali berubah menjadi kredo untuk membenarkan
perilaku otoriter penguasa. Pancasila menjadi “makhluk” yang menakutkan
bagi banyak kalangan, termasuk kelompok Islam idiologis (juga kelompok
kiri, mahasiswa dan kelompok pro-demokrasi yang jumlahnya minoritas).
Perdebatan lama tadi pun akhirnya beralih tempat dari parlemen ke
komunitas intelektual. Beberapa generasi intelektual malah memberikan
“pembenaran” bagi eksistensi Pancasila, sekalipun idiologi ini telah
dieksploitasi bagi kepentingan otoritarianisme.
Akan tetapi di balik itu, pada masa Orde
Baru, juga terjadi transformasi lain, yakni munculnya kelompok dalam
Islam yang mencari argumentasi untuk mensinergikan antara Islam dan
Pancasila. Bagi mereka, tidak ada pertentangan antara Islam dan
Pancasila. Sejarawan Kuntowijoyo, misalnya, melihat Pancasila sebagai
objektivikasi Islam. Baginya, tidak ada sila dalam Pancasila yang
bertentangan dengan Islam dan sebaliknya tidak ada ajaran dalam Islam
yang tidak cocok dengan Pancasila.
Hanya saja, karena dikemukakan di zaman
Orde Baru, muncul spekulasi bahwa pandangan para sarjana Islam itu
memberikan pembenaran terhadap praktik otoriatanisme. Rezim ini justru
menyelenggaraan otoritarianisme dengan klaim telah melaksanakan
Pancasila. Karena itu masih menjadi pertanyaan, apakah pemikiran sarjana
Islam perihal kesesuaian antara Islam dan Pancasila menjadi justifikasi
intelektual bagi praktik otoriterianisme?
Ketika rezim otoriter runtuh dan
reformasi menyeruak, pemikiran soal hubungan antara negara dan agama
kembali mencuat ke permukaan. Hanya saja konteks sosio-politiknya sudah
berbeda. Para sarjana pun harus mencari formula baru hubungan antara
Islam dan kebangsaan dalam konteks demokrasi dan reformasi. Sebab
aktualisasi hubungan keduanya bisa berbeda antara zaman otoriter dengan
zaman demokrasi.
Di era reformasi dan demokrasi, bentuk
hubungan antara Islam dan negara tak serta merta koheren satu sama lain.
Demokrasi justru memungkinkan menyeruaknya segala macam aspirasi,
termasuk aspirasi “laten” dari kalangan Islam idiologis, yakni
memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Aspirasi itu mungkin tidak lagi menjadi benchmark partai-partai Islam,
karena reputasinya merosot drastis pasca-depolitisasi dan deparpolisasi
Orde Baru.
Aspirasi syariat Islam justru lahir dari
lembaga-lembaga demokrasi baru, seperti parlemen lokal. Lahirnya
sejumlah perda bernuansa syariat Islam di beberapa daerah justru lahir
dalam konteks demokrasi lokal. Persoalan sekarang, bagaimana mencari
formula yang tepat supaya Islam, Pancasila dan demokrasi tidak
berbenturan satu sama lain.
Secara prinsip, ketiga entitas mungkin
bisa bersesuaian satu sama lain, akan tetapi jika politik kepentingan
sudah mendominasi, maka ketiganya bisa dimanfaatkan hanya untuk
kepentingan parsial perorangan atau kelompok atas nama publik. Di masa
Orla dan Orba, Pancasila dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan
otoriter, maka di masa reformasi, tidak hanya Pancasila sebagai
idiologi, Islam dan demokrasi pun bisa diperkuda untuk kepentingan
sempit segelintir elite atau kelompok yang mengatasnamakan kepentingan
rakyat.(CMM)
Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila
Kerangka Teoritik
Alfred
North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses,
berpandangan bahwa semua realitas dalam alam mengalami proses atau
perubahan, yaitu kemajuan, kreatif dan baru. Realitas itu
dinamik dan suatu proses yang terus menerus “menjadi”, walaupun unsur
permanensi realitas dan identitas diri dalam perubahan tidak
boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat pula dikenakan pada ideologi
Pancasila sebagai suatu realitas (pengada). Masalahnya, bagaimanakah
nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan dalam praktik kehidupan
berbangsa dan bernegara ? dan, unsur nilai Pancasila manakah yang mesti harus kita pertahankan tanpa mengenal perubahan ?
Moerdiono (1995/1996) menunjukkan adanya 3 tataran nilai dalam ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu adalah:
Pertama, nilai dasar, yaitu
suatu nilai yang bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas dari
pengaruh perubahan waktu.Nilai dasar merupakan prinsip, yang bersifat
amat abstrak, bersifat amat umum, tidak terikat oleh waktu dan tempat,
dengan kandungan kebenaran yang bagaikan aksioma.Dari segi kandungan
nilainya, maka nilai dasar berkenaan dengan eksistensi sesuatu, yang
mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya. Nilai dasar
Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara.Nilai dasar Pancasila
tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan
yang telah menyengsarakan rakyat, maupun dari cita-cita yang ditanamkan
dalam agama dan tradisi tentang suatu masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh warga
masyarakat.
Kedua, nilai instrumental, yaitu
suatu nilai yang bersifat kontekstual. Nilai instrumental merupakan
penjabaran dari nilai dasar tersebut, yang merupakan arahan kinerjanya
untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Nilai
instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan
zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu pada nilai dasar yang
dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamik
dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam
batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu.Dari kandungan
nilainya, maka nilai instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi,
organisasi, sistem, rencana, program, bahkan juga proyek-proyek yang
menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang
menyusun nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR.
Ketiga, nilai praksis,
yaitu nilai yang terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa cara
bagaimana rakyat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila.
Nilai praksis terdapat pada demikian banyak wujud penerapan nilai-nilai
Pancasila, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik oleh cabang
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial
politik, oleh organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh
pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan.
Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang
pertarungan antara idealisme dan realitas.
Jika
ditinjau dari segi pelaksanaan nilai yang dianut, maka sesungguhnya
pada nilai praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan
nilai instrumental itu. Ringkasnya bukan pada rumusan abstrak, dan bukan
juga pada kebijaksanaan, strategi, rencana, program atau proyek itu
sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yang dianut, tetapi pada
kualitas pelaksanaannya di lapangan. Bagi suatu ideologi, yang paling
penting adalah bukti pengamalannya atau aktualisasinya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu ideologi dapat mempunyai
rumusan yang amat ideal dengan ulasan yang amat logis serta
konsisten pada tahap nilai dasar dan nilai instrumentalnya. Akan
tetapi, jika pada nilai praksisnya rumusan tersebut tidak dapat
diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan kehilangan
kredibilitasnya.Bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa bahwa
tantangan terbesar bagi suatu ideologi adalah menjaga konsistensi
antara nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya. Sudah
barang tentu jika konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka
terhadap ideologi itu tidak akan ada masalah. Masalah baru timbul jika
terdapat inkonsisitensi dalam tiga tataran nilai tersebut.
Untuk
menjaga konsistensi dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam
praktik hidup berbangsa dan bernegara, maka perlu Pancasila formal yang
abstrak-umum-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila
yang umum kolektif, dan bahkan menjadi Pancasila yang khusus individual
(Suwarno, 1993: 108). Artinya, Pancasila menjadi sifat-sifat dari subjek
kelompok dan individual, sehingga menjiwai semua tingkah laku dalam
lingkungan praksisnya dalam bidang kenegaraan, politik, dan pribadi.
Driyarkara menjelaskan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, dengan gambaran gerak transformasi Pancasila formal sebagai kategori tematis (berupa konsep, teori) menjadi kategori imperatif (berupa norma-norma) dan kategori operatif (berupa
praktik hidup). Proses tranformasi berjalan tanpa masalah apabila tidak
terjadi deviasi atau penyimpangan, yang berupa pengurangan,
penambahan,dan penggantian (dalam Suwarno, 1993: 110- 111).
Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara haruslah diupayakan secara kreatif dan dinamik, sebab
Pancasilasebagai ideologi bersifat futuralistik. Artinya, nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang
dicita-citakan dan ingin diwujudkan.
Masalah
aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke dalam kehidupan
praksis kemasyarakatan dan kenegaraan bukanlah masalah yang sederhana.
Soedjati Djiwandono (1995: 2-3) mensinyalir, bahwa masih terdapat
beberapa kekeliruan yang mendasar dalam cara orang memahami dan
menghayati Negara Pancasila dalam berbagai seginya. Kiranya tidak tepat
membuat “sakral” dan taboo berbagai konsep dan pengertian, seakan-akan
sudah jelas betul dan pasti benar, tuntas dan sempurna, sehingga tidak
boleh dipersoalkan lagi. Sikap seperti itu membuat berbagai konsep dan
pengertian menjadi statik, kaku dan tidak berkembang, dan mengandung
resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin benar bahwa beberapa prinsip
dasar memang mempunyai nilai yang tetap dan abadi. Belum
teraktualisasinya nilai dasar Pancasila secara konsisten dalam tataran
praksis perlu terus menerus diadakan perubahan, baik dalam
arti konseptual maupun operasional. Banyak hal harus ditinjau kembali
dan dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu dirubah, beberapa lagi mungkin
perlu dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan
beberapa lagi mungkin perlu ditinggalkan.
Aktualisasi
nilai Pancasila dituntut selalu mengalami pembaharuan. Hakikat
pembaharuan adalah perbaikan dari dalam dan melalui sistem yang ada.
Atau dengan kata lain, pembaharuan mengandaikan adanya dinamika internal
dalam diri Pancasila. Mengunakan pendekatan teori Aristoteles, bahwa di
dalam diri Pancasila sebagai pengada (realitas) mengandung potensi,
yaitu dasar kemungkinan (dynamik). Potensi dalam pengertian ini adalah
kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila) untuk dapat berubah.
Subjek sendiri yang berubah dari dalam. Mirip dengan teori
A.N.Whitehead, setiap satuan aktual (sebagai aktus, termasuk Pancasila)
terkandung daya kemungkinan untuk berubah. Bukan kemungkinan murni logis
atau kemungkinan objektif, seperti batu yang dapat dipindahkan atau
pohon yang dapat dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual sebagai
realitas merupakan sumber daya untuk proses ke-menjadi-an yang
selanjutnya. Jika dikaitkan dengan aktualisasi nilai Pancasila, maka
pada dasarnya setiap ketentuan hukum dan perundang-undangan pada segala
tingkatan, sebagai aktualisasi nilai Pancasila (transformasi kategori
tematis menjadi kategori imperatif), harus terbuka terhadap peninjauan
dan penilaian atau pengkajian tentang keterkaitan dengan nilai dasar
Pancasila.
Untuk
melihat transformasi Pancasila menjadi norma hidup sehari-hari dalam
bernegara orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yang
berkaitan dengan negara, yang meliputi; wilayah, warganegara, dan
pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, untuk memahami transformasi
Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang harus menganalisis
pasal-pasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan dengan bangsa Indonesia,
yang meliputi; faktor-faktor integratif dan upaya untuk menciptakan
persatuan Indonesia. Sedangkan untuk memahami transformasi Pancasila
dalam kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal
penuangan sila ke-1, ke-2, dan ke-5 yang berkaitan dengan hidup
keagamaan, kemanusiaan dan sosial ekonomis (Suwarno, 1993: 126).
Perubahan dan Kebaharuan
Pembaharuan
dan perubahan bukanlah melulu bersumber dari satu sisi saja, yaitu
akibat yang timbul dari dalam, melainkan bisa terjadi karena pengaruh
dari luar. Terjadinya proses perubahan (dinamika) dalam aktualisasi
nilai Pancasila tidaklah semata-mata disebabkan kemampuan dari dalam
(potensi) dari Pancasila itu sendiri, melainkan suatu peristiwa yang
terkait atau berrelasi dengan realitas yang lain. Dinamika aktualisasi
Pancasila bersumber pada aktivitas di dalam menyerap atau menerima dan
menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau unsur-unsur dari luar
(asing). Contoh paling jelas dari terjadinya perubahan transformatif
dalam aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, adalah empat kali amandemen UUD 1945 yang telah
dilakukan MPR pada tahun 1999, 2000, 2001, dan tahun 2002.
Dewasa
ini, akibat kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya teknologi
komunikasi, terjadilah perubahan pola hidup masyarakat yang begitu
cepat. Tidak satupun bangsa dan negara mampu mengisolir diri dan menutup
rapat dari pengaruh budaya asing. Demikian juga terhadap masalah
ideologi.Dalam kaitan imi, M.Habib Mustopo (1992: 11 -12) menyatakan,
bahwa pergeseran dan perubahan nilai-nilai akan menimbulkan kebimbangan,
terutama didukung oleh kenyataan masuknya arus budaya asing dengan
berbagai aspeknya. Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi komunikasi
& transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat dan
luas. Kondisi ini di satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yang
mengikat kepentingan nasional tidak luput dari pengaruhnya dan dapat
menyinggung kepentingan bangsa lain. Ada semacam kearifan yang harus
dipahami, bahwa dalam kehidupan dewasa ini, teknologi
sebagai bagian budaya manusia telah jauh mempengaruhi tata kehidupan
manusia secara menyeluruh. Dalam keadaan semacam ini, tidak mustahil
tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yang tidak selalu sejalan dengan
tumbuhnya faham kebangsaan.Beberapa informasi dalam berbagai ragam
bentuk dan isinya tidak dapat selalu diawasi atau dicegah begitu
saja.Mengingkari dan tidak mau tahu “tawaran” atau pengaruh nilai-nilai
asing merupakan kesesatan berpikir, yang seolah-olah menganggap bahwa
ada eksistens yang bisa berdiri sendiri. Kesalahan berpiklir demikian oleh Whitehead disebut sebagai the fallacy of misplace concretness (Damardjati
Supadjar, 1990: 68). Jika pengaruh itu tidak sesuai dengan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat, atau tidak mendukung bagi terciptanya
kondisi yang sesuai dengan Pancasila, maka perlu dikembangkan sikap yang
kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, ide-ide yang datang dari
luar.
Dalam
konteks budaya, masalah pertemuan kebudayaan bukan masalah memfilter
atau menyaring budaya asing, tetapi mengolah dan mengkreasi dalam
interaksi dinamik sehingga tercipta sesuatu yang baru. Jati diri bangsa,
budaya politik adalah sesuatu yang harus terus menerus dikonstruksikan,
karena bukan kenyataan yang mandeg (Sastrapratedja, 1996: 11). Kalau
ideologi-ideologi besar di dunia sekarang ini diperhatikan dengan
seksama, maka terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para penyangga
ideologi itu telah melakukan revisi, pembaharuan, dan
pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya. Perkembangan
zaman menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru
dengan corak nilai, ajaran dan konsep kunci mengenai kehidupan yang
memiliki perspektif baru. Ideologi Pancasilapun dituntut demikian.
Pancasila harus mampu menghadapi pengaruh budaya asing, khususnya ilmu
dan teknologi modern dan latar belakang filsafatnya yang berasal dari
luar.
Prof.
Notonagoro telah menemukan cara untuk memanfaatkan pengaruh dari luar
tersebut, yaitu secara eklektif mengambil ilmu pengetahuan dan ajaran
kefilsafatan dari luar tersebut, tetapi dengan melepaskan diri dari
sistem filsafat yang bersangkutan dan selanjutnya diinkorporasikan dalam
struktur filsafat Pancasila. Dengan demikian, terhadap pengaruh baru
dari luar, maka Pancasila bersifat terbuka dengan syarat dilepaskan dari
sistem filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yang serangkai dan
memperkaya struktur filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34).
Sepaham dengan Notonagoro, Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan
Pancasila sebagai struktur atau sistem yang terbuka dinamik, yang dapat
menggarap apa yang datang dari luar, dalam arti luas, menjadi miliknya
tanpa mengubah identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mempengaruhi dan mengkreasi.
Dinamika
Pancasila dimungkinkan apabila ada daya refleksi yang mendalam dan
keterbukaan yang matang untuk menyerap, menghargai, dan memilih
nilai-nilai hidup yang tepat dan baik untuk menjadi pandangan hidup
bangsa bagi kelestarian hidupnya di masa mendatang.
Sedangkan penerapan atau penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar
tersebut berdasar pada relevansinya. Dalam konteks hubungan
internasional dan pengembangan ideologi, bukan hanya Pancasila yang
menyerap atau dipengaruhi oleh nilai-nilai asing, namun nilai-nilai
Pancasila bisa ditawarkan dan berpengaruh, serta menyokong kepada
kebudayaan atau ideologi lain. Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14)
menjelaskan, bahwa dinamika yang ada pada aktualisasi Pancasila
memungkinkan bahwa Pancasila juga tampil sebagai alternatif untuk
melandasi tata kehidupan internasional, baik untuk memberikan orientasi
kepada negara-negara berkembang pada khususnya, maupun mewarnai pola
komunikasi antar negara pada umumnya.
Ideologi
Pancasila bukanlah pseudo religi. Oleh karena itu, Pancasila perlu
dijabarkan secara rasional dan kritis agar membuka iklim hidup yang
bebas dan rasional pula. Konsekuensinya, bahwa Pancasila harus bersifat
terbuka. Artinya, peka terhadap perubahan yang terjadi dalam kehidupan
manusia dan tidak menutup diri terhadap nilai dan pemikiran dari luar
yang memang diakui menunjukkan arti dan makna yang positif bagi
pembinaan budaya bangsa, sehingga dengan demikian menganggap proses
akulturasi sebagai gejala wajar. Dengan begitu ideologi Pancasila akan
menunjukkan sifatnya yang dinamik, yaitu memiliki kesediaan untuk
mengadakan pembaharuan yang berguna bagi perkembangan pribadi manusia
dan masyarakat. Untuk menghadapi tantangan masa depan perlu didorong
pengembangan nilai-nilai Pancasila secara kreatif dan dinamik.
Kreativitas dalam konteks ini dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
menyeleksi nilai-nilai baru dan mencari alternatif bagi pemecahan
masalah-masalah politik, sosial, budaya, ekonomi, dan pertahanan
keamanan. Ideologi Pancasila tidak a priori menolak bahan-bahan baru dan
kebudayaan asing, melainkan mampu menyerap nilai-nilai yang
dipertimbangkan dapat memperkaya dan memperkembangkan kebudayaan
sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Menurut Hardono Hadi (1994: 57), bangsa Indonesia, sebagai pengemban
ideeologi Pancasila, tidak defensif dan tertutup sehingga sesuatu yang
berbau asing harus ditangkal dan dihindari karena dianggap bersifat
negatif. Sebaliknya tidak diharapkan bahwa bangsa Indonesia menjadi
begitu amorf, sehingga segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima
secara buta tanpa pedoman untuk menentukan mana yang pantas dan mana
yang tidak pantas untuk diintegrasikan dalam pengembangan dirinya.
Bangsa
Indonesia mau tidak mau harus terlibat dalam dialog dengan
bangsa-bangsa lain, namun tidak tenggelam dan hilang di dalamnya. Proses
akulturasi tidak dapat dihindari. Bangsa Indonesia juga dituntut
berperan aktif dalam pergaulan dunia.Bangsa Indonesia harus mampu ikut
bermain dalam interaksi mondial dalam menentukan arah kehidupan manusia
seluruhnya. Untuk bisa menjalankan peran itu, bangsa
Indonesia sendiri harus mempunyai kesatuan nilai yang menjadi keunikan
bangsa, sehingga mampu memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam
percaturan internasional. Identitas diri bukan sesuatu yang tertutup
tetapi sesuatu yang terus dibentuk dalam interaksi dengan kelompok
masyarakat bangsa, negara, manusia, sistem masyarakat dunia
(Sastrapratedja, 1996: 3).
Semuanya
itu mengharuskan adanya strategi kebudayaan yang mampu neneruskan dan
mengembangkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam segala aspek kehidupan
bangsa.
Abdulkadir
Besar (1994: 35) menawarkan pelaksanaan “strategi dialogi antar budaya”
dalam menghadapi gejala penyeragaman atau globalisasi dewasa ini..
Artinya, membiarkan budaya asing yang mengglobal berdampingan dengan
budaya asli. Melalui interaksi yang terus menerus, masing-masing budaya
akan mendapatkan pelajaran yang berharga. Hasil akhir yang diharapkan
dari interaksi itu adalah terpeliharanya cukup diferensiasi, sekaligus
tercegahnya penyeragaman universal. Ideologi Pancasila sebagai jati diri
bangsa Indonesia tidak mandeg, melainkan harus diperbaharui secara
terus menerus, sehingga mampu memberikan pedoman, inspirasi, dan
dukungan pada setiap anggota bangsa Indonesia dalam memperkembangkan
dirinya sebagai bangsa Indonesia. Sedangkan pembaharuan yang sehat
selalu bertitik tolak pada masa lampau dan sekaligus diarahkan bagi
terwujudnya cita-cita di masa depan. Setiap zaman menampakkan corak
kepribadiannya sendiri, namun kepribadian yang terbentuk pada
zaman yang berbeda haruslah mempunyai kesinambungan dari masa lampau
sampai masa mendatang sehingga tergambarkan aspek historitasnya (Hardono
Hadi, 1994: 76). Kesinambungan tidak berarti hanya penggulangan atau
pelestarian secara persis apa yang dihasilkan di masa lampau untuk
diterapkan pada masa kini dan masa mendatang. Unsur yang sama dan
permanen maupun unsur yang kreatif dan baru, semuanya harus dirajut
dalam satu kesatuan yang integral.
Teori
hilemorfisme dari Aristoteles bisa mendukung pandangan tersebut.
Aristoteles menegaskan, bahwa meskipun materi (hyle) menjadi nyata bila
dibentuk (morfe), namun materi tidaklah pasif. Artinya ada gerak. Setiap
relitas yang sudah berbentuk (berdasar materi) dapat juga menjadi
materi bagi bentuk yang lain,sehingga setiap realitas mengalami
perubahan. Perubahan yang ada bukan kebaharuan sama sekali namun
perubahan yang kesinambungan. Artinya, aktualitas yang ada sekarang
berdasar pada realitas yang telah
ada pada masa lampau dan terbuka bagi adanya perubahan di masa depan.
Terima Kasih Bagi yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca posting yang super panjang ini hehe ^_^
SUMBER
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
masukan komentar anda